MALANG Kitatoday.com — Keberlanjutan penggunaan pembayaran digital terus menjadi bahan perdebatan di Kota Malang, terutama di antara pedagang pasar tradisional. Pada Selasa, 23 September 2025, sejumlah pedagang Pasar Klojen menyatakan ketidaknyamanan mereka terhadap sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Mereka menyebut beberapa kendala mendasar seperti biaya layanan, kurangnya pemahaman terhadap teknologi, hingga arus pelanggan yang tetap memilih pembayaran tunai.
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskopindag) Kota Malang merespons keluhan tersebut. Kepala Diskopindag, Eko Sri Yuliadi, menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa memaksakan penggunaan QRIS kepada semua pedagang pasar. Menurut Eko, adopsi teknologi digital harus menghormati pilihan dan kenyamanan pedagang, terutama mereka yang belum terbiasa atau yang infrastrukturnya belum mendukung. “Kita harus menghargai bahwa tidak semua orang siap sekaligus. Ada kesenjangan SDM dan kesiapan teknologi,” ujarnya.
Diskopindag juga menyebut bahwa beberapa pedagang sudah mencoba memakai QRIS, tapi menghadapi tantangan seperti sinyal internet yang tidak stabil, pelanggan yang lebih suka uang tunai, serta biaya admin bank yang dianggap memberatkan. Contohnya, seorang pedagang kue basah yang sudah sejak awal tahun 2025 memakai QRIS memilih kembali menggunakan transaksi tunai karena dirasa lebih praktis dan lebih cepat dalam perputaran modal.
Meski begitu, Pemkot Malang dan Diskopindag tidak tinggal diam. Mereka menawarkan pendampingan, pelatihan penggunaan QRIS, dan sosialisasi kepada pedagang agar sistem digitalisasi transaksi bisa diterima secara bertahap. Pemerintah juga mempertimbangkan opsi subsidi biaya transaksi digital atau kompensasi bagi pedagang kecil agar beban awal tidak terasa berat.
Pihak lain menyarankan agar pengusaha fintech dan bank ikut berkolaborasi menyediakan akses atau alternatif solusi—seperti sistem QR offline atau penggunaan saldo digital lokal—untuk wilayah yang terkendala jaringan. Pedagang berharap ke depan ada fleksibilitas dalam implementasi: kombinasi antara tunai dan digital, sehingga transisi tidak memberatkan mereka yang sudah memiliki usaha kecil.
Tokoh masyarakat serta pelanggan pasar juga memberi masukan agar transparansi informasi tentang biaya penggunaan QRIS diperjelas—misalnya biaya tambahan, batas minimum transaksi, dan hak konsumen dalam transaksi digital.
Dengan adanya dinamika seperti ini, Malang menjadi contoh bagaimana modernisasi ekonomi harus berjalan seiring dengan pemahaman masyarakat dan kesiapan infrastruktur. Transaksi digital bukan sekadar trend, tapi bagian dari transformasi ekonomi lokal yang harus inklusif dan adil bagi semua pelaku usaha.